in

Nurani di Era Logika Biner

Oleh : Ishadi Ishak, S.Kom., M.M.

Kemajuan teknologi China saat ini sangat cepat, apalagi dengan teknologi AI yang menerapkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) selangkah lebih maju di Asia bahkan bisa dibilang sejajar dengan kemajuan teknologi Amerika Serikat. teknologi AI kini nyaris memasuki sendi – sendi kehidupan kita, cukup memberi instruksi (prompt) melalui gawai dapat merespon dan mengubah sistem aplikasi dengan kecerdasan menyerupai manusia, bahkan juga teknologi AI saat ini dapat menjawab soal agama.

Namun, satu pertanyaan mendasar muncul mungkinkah teknologi AI bisa ganti Tuhan dalam kehidupan manusia? pertanyaan ini bukan sekedar spekulasi futuristik, tetapi panggilan untuk merenung siapa diri kita di tengah laju teknologi. Sebab pada dasarnya AI adalah hasil ciptaan manusia yang dapat digunakan berdasarkan logika algoritma. Sedangkan bilangan biner pada logika algoritma telah dapat diubah dari gaya bahasa mesin menjadi lantunan ayat suci Al-Qur’an dalam bentuk digital, meskipun teknologi AI ini tidak dapat mengetahui bagaimana rasanya manusia melakukan sujud yang khusyuk pada Tuhan Yang Maha Esa.

Walaupun teknologi AI mampu menirukan suara azan, AI tidak memiliki qalbu yang dapat merasakan makna dari ketakutan, harapan, dan kepasrahan saat berdoa kepada Tuhan. Berbeda dengan AI, manusia tidak hanya memiliki akal,tetapi juga qalbu.

Baca Juga :  Sinergi Pengelolaan Energi dan Sumber Daya Alam sebagai Dasar Kemajuan Bangsa serta Sustainability Living

Kita ketahui bersama bahwa orang Bugis Makassar mempunyai budaya “tau temmappa masseddi’ yang artinya manusia itu mahluk yang punya rasa gelisah, yang selalu mencari arti hidup. Kita bukan cuma perlu jawaban cepat, tapi perlu petunjuk moral dan ketenangan hati. Di sinilah kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sangat berperan penting. Maka dari itu kehadiran Tuhan Yang Maha Esa tidak hanya sebagai pemilik alam semesta melainkan sumber ilmu, nilai dan kebijaksanaan yang melampaui akal dan hitungan teknologi kecerdasan yang dibuat manusia seperti AI.

Falsafah budaya Bugis yakni Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge yang artinya saling memanusiakan, saling menghormati, saling mengingatkan. Sehingga diharapkan nilai-nilai inilah yang mesti dijaga supaya kita tidak lupa akan rasa kemanusiaan kita di tengah kemajuan teknologi. Adapun olah rasa seperti empati, ikhlas, dan rasa hormat hanya dimiliki manusia sedangkan AI hanya bisa saja pintar ngolah data yang diberikan oleh manusia menggunakan logika algoritma.

Baca Juga :  Kisah Ahmad Sadali, Pencipta Lambang HMI (Bagian 1)

Mengutip pernyataan da’i kondang Ustad Das’ad Latif, “Teknologi harus menjadi alat untuk memanusiakan manusia, bukan untuk mengurangi kemanusiaan.” Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan prinsip ini agar tidak salah langkah dalam memahami kemajuan teknologi. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) diharapkan dapat membantu manusia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan sebaliknya.

Bahasa mesin dalam konteks logika algoritma bukanlah ancaman yang dapat menggantikan posisi Tuhan Yang Maha Esa. Namun, ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat berpotensi merusak alam semesta. Jika iman manusia lemah, teknologi yang canggih sekalipun tidak akan membawa perbaikan; sebaliknya, hal itu bisa menghancurkan kehidupan kita.

Oleh karena itu, tantangan terbesar umat manusia bukanlah teknologi kecerdasan buatan, melainkan bagaimana individu dapat menjaga hati agar tetap terbuka terhadap nilai-nilai spiritual. Penting bagi manusia untuk mempertahankan iman sebagai kompas di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Tuhan Yang Maha Esa dan kecerdasan buatan merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya perlu berada dalam keseimbangan. Kecerdasan buatan adalah hasil kreativitas manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa adalah pemilik dan pencipta alam semesta.

Baca Juga :  Kompetensi Pansel Presidium KAHMI

Si maestro di balik “idealisme transendental”, Immanuel Kant, pernah bilang, “pemikiran tanpa isi itu kosong melompong, intuisi tanpa konsep itu buta”. Bisa dibilang mirip kayak, “berpikir tanpa logika itu kosong, logika tanpa berpikir itu hampa”.

Sementara itu, Aristoteles, filsuf Yunani, punya pandangan beda soal memisahkan antara logos (logika) dan nous (pemikiran intuitif), menekankan pentingnya harmoni antara akal rasional dan penalaran aktif.

Kalau kita gabungkan pemikiran Immanuel Kant dan Aristoteles, bisa dibilang, di tengah gemuruh logika biner dan kemajuan teknologi, yuk kita ambil jeda untuk introspeksi. Gimana kabar iman kita? Masih ingatkah sama Tuhan di balik semua algoritma ini? Kalau iya, Insya Allah kita masih jadi manusia sejati, karena kita punya otak dan akal, tapi juga qalbu, nurani, dan iman.

*) Penulis Anggota Biro Komunikasi, Informasi & Humas KAHMI Sulawesi Selatan.

Written by Akril Abdillah